Suatu
survey pemikiran ekonomi syariah berhasil
menyusun penggagas, pemikir dan aktivis ekonomi Islam secara kronologis,
walaupun belum begitu memadai. Berikut di bawah ini disajikan beberapa
penggagas dasar ilmu ekonomi syariah yang melambangkan perkembangan pemikiran
ekonomi syariah sekaligus.
Zaid bin Ali (80-120H./699-738M)
Zaid adalah
pengagas awal penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih
tinggi dari harga tunai.
Abu Hanifah (80-150H/699-767M)
Abu Hanifah
lebih dikenal sebagai imam madzhab hukum yang sangat rasionlistis dan dikenal
puga sebagai penjahit pakaian atau taylor dan
pedagang dari Kufah , Iraq . Ia menggagas keabsahan dan
kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay’
al-sala`m dan al-mura`bahah.
Al-Awza’i (88-157H./707-774M.)
Nama lengkapnya
Abdurahman al-Awza’i yang berasal dari Beirut ,
Libanon dan hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia adalah pengagas orisinal dalam
ilmu ekonomi syariah. Gagasan-gagasanya, antara lain, kebolehan dan kesahihan
sistem muzara’ah sebagai bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan
peminjaman modal, baik dalam bentuk tunai atau sejenis.
Imam Malik Bin Anas (93-179H./712-796M.)
Imam Malik lebih
dikenal sebagai penulis pertama kitab hadis al-Muwatha’, dan Imam
Madzhab hukum. Namun, ia pun memiliki pemikiran orisinal di bidang ekonomi,
seperti: Ia menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas kesejahteraan
rakyatnya. Para pengusaha harus peduli
terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istislah dalam ilmu
hukum Islam yang diperkenalkanya mengandung analisis nilai kegunaan atau teori utility
dalam filsafat Barat yang di kemudian hari diperkenalkan oleh Jeremy Benthan
dan John Stuart Mill. Di samping itu, ia pun tokoh hukum Islam yang mengakui
hak negara Islam untuk menarik pajak demi terpenuhinya kebutuhan bersama.
Abu Yusuf (112-182H./731-798H.)
Abu Yusuf adalah
seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya
(al-Qadli=hakim) Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan
umum serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan
pertanian. Ia pun dikenal sebagai
penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab al-Kharaj. Karya ini
berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian. Kitab ini, sebagaimana
dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan dari penguasa pada
zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari
kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan bagi
penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat
al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah). Tulisan Abu Yusuf ini mempertegas bahwa ilmu
ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari seni dan menejemen pemerintahan
dalam rangka pelaksanaan amanat yang dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk mensejahterakan
mereka. Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada
tanggungjawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar
prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari “diambil” oleh para ahli
ekonomi sebagai canons of taxation. Sedangkan pemikiran kontroversialnya
ada pada pandanganya yang menentang pengendalian harga atau tas’ir,
yakni penetapan harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara
lebih rinci dengan menyatakan bahwa tas’ir dapat dilakukan pemerintah
sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia
mempertegas, kapan tas’ir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan
tidak, dan bahkan kapan pemerintah wajib melakukanya.
Abu ‘Ubayd
al-Qasim bin Sallam (157-224H/774-738M)
Pembahasan
ekonomi syariah dalam karya Abu ‘Ubayd, al-Amwa’l, diawali dengan enam
belas buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m ‘ala` al-ra’iyyah, wa haqq
al-ra’iyyah ala al-ima`m (hak pemerintah atas rakyatnya dan hak rakyat atas pemerintahnya).
Buku ini dapat digolongkan sebagai karya klasik dalam bidang ilmu
ekonomi syariah karena sistimatika pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat
Alquran dan hadis di bidangnya. Bab pertama buku ini, umpamanya, diawali dengan
mengutip hadis yang menyatakan bahwa agama itu adalah kritik: al-d`in
al-nshi`hat; disusul hadis yang menyatakan bahwa setiap orang adalah
“penggembala” yang bertanggungjawab atas gembalaanya yang secara tegas
dicontohkan: seorang pemimpin adalah penggembala rakyatnya dan bertanggung
jawab atasnya; seorang suami bertanggung jawab atas gembalanya, yakni
keluarganya; seorang isteri adalah penggembala dan bertanggung jawab atas rumah
suaminya dan anak-anaknya; seorang pekerja penggembala harta tuannya dan
bertanggung jawab atasnya. Kemudian ia pun mengutip sejumah hadis tentang
pemimpin yang adil dan fajir. Pemimpin yang adil adalah yang
melaksanakan amanat kepemimpinannya, taat kepada hukum-hukum Allah dan
Rasul-Nya sehingga ia berhak mendapat ketaatan dari rakyatnya; akhirnya ia pun
mengutip atsar Sahabat yang mengingatkan kepada kaum Muslimin agar
selalu berdzikir kepada Allah manakala dalam keadaan ragu, ketika bersumpah,
dan ketika mengadili atau menetapkan dan memutuskan hukum. Abu ‘Ubayd seolah-olah ingin menyatakan bahwa
masalah ekonomi tak terpisahkan dari tanggung jawab pemerintah atau penguasa.
Dengan kata lain, ilmu ekonomi syariah adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu
hukum ketata-negaraan. Sedangkan pada bab-bab berikutnya ia menjelaskan aneka
jenis harta yang dikuasai negara dan hak rakyat atas harta termaksud dengan
cara yang lebih terurai dan selalu berdasarkan rujukan Alquran dan Sunnah.
Kitab ini, jika dilihat dari tehnis penulisanya dengan mengutamakan pengutipan
hadis-hadis dan ayat-ayat Alquran, mirip dengan kitab fiqh atau hukum Islam
pertama karya Imam Malik, al-Muwatha’, yang isinya adalah koleksi
hadis-hadis yang bertajuk dan petunjuk hukum Islam.
Abu Hamid
al-Ghazali (1059-1111)
Tokoh yang lebih
dikenal sebagai sufi dan filosof serta pengkritik filsafat terkemuka ini
melihat bahwa uang bukanlah komoditi, melainkan alat tukar
Tusi (1201-1274)
Tusi adalah
penulis buku dalam bahasa Persia ,
Akhlaq –i-Nasiri yang menjelaskan bahwa: Apabila seseorang harus tetap
menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya sendiri, tentu dia tidak
akan dapat bertahan hidup karena tidak akan mempunyai makanan yang cukup untuk
jangka lama. Akan tetapi, karena orang bekerja sama dengan lainya dan setiap
orang melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya sehingga menghasilkan
konsumsi yang lebih dari cukup untuk dirinya sendiri. Keadilan hukum pun
mengendalikan pertukaran produk barang-barang yang menjamin ketersediannya
untuk semua orang. Dengan demikian, Tuhan dengan segala kebijaksanaan-Nya,
membedakan aktivitas dan cita rasa orang sedemikian rupa, sehingga mereka
mungkin melakukan pekerjaan yang berbeda-beda untuk saling membantu.
Perbedaan-perbedaan inilah yang melahirkan sruktur internasional dan sistem
ekonomi umat manusia. Maka terjadilah kerjasama timbal balik. Timbulah berbagai
bentuk kontrak sosial.
Ibnu Taymiyyah
(1262-1328)
Ibnu Taymiyyah
dalam kitabnya, al-Siyasa`t al-Syar’iyyah fi` Ishla`h al-Ra`’iy wa
al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana
amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada` al-ama`na`t ila` hliha`.
Pengelolaan negara serta sumber-sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni
oleh negara (al-siya`sa`t l-syar’iyyah) pengertian al-siyasah
al-dustu`riyyah maupun al-siya`sa`t al-ma`liyyah (politik hukum
publik dan privat). Sedangkan dalam karya lainya, al-Hisbah fi`
al-Isla`m, lebih menekankan intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar;
pengawasan pasar; hinga akuntansi yang erat kaitanya dengan sistem dan prinsip
zakat, pajak, dan jizyah. Dengan demikian, seperti halnya Abu ‘Ubayd, nampaknya
Ibn Taymiyyah mempunyai kerangka pikir yang sejalan dalam pendapat yang
menyatakan bahwa ekonomi syariah, baik sistem maupun hukumnya, merupakan bagian
tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dan ketatanegaran.
Ibn Khaldun
(1332-1406)
Cendekiawan asal
Tunisia
ini lebih dikenal sebagai Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak
mengabaikan perhatianya dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya,
al-Muqaddimah, tidak membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia
membahasnya secara berserakan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu
ekonomi jauh lebih luas daripada definisi Tusi. Ia dapat melihat dengan
jelas hubungan antara ilmu ekonomi dengan kesejahteraan manusia. Referensi
filosofisnya yang merujuk kepada “ketentuan akal dan etika” telah mengantarnya
kepada kesimpulan bahwa ilmu ekonomi adalah pengetahuan normatif dan sekaligus
positif. Terminologi jumhur yang berarti massa
yang digunakanya menunjukkan bahwa mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan massa ,
bukan individu. Individu adalah bagian dari jumhur. Hukum ekonomi dan
sosial berlaku pada massa ,
bukan pada individu yang terkucil. Ia melihat hubungan timbal balik antara
faktor-faktor: ekonomi, politik, sosial, etika dan pendidikan. Ia pun
mengetengahkan gagasan ilmu ekonomi yang mendasar, yakni; pentingnya pembagian
kerja, pengakuan terhadap sumbangan kerja terhadap teori nilai, teori mengenai
pertumbuhan penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan, sistim harga dsb.
Pemikiranya kiranya dapat disejajarkan dengn penulis klasik sekaliber
Adam Smith, Ricardo, Malthus dan penulis neo klasik sekaliber Keynes.
al-Mawardi
(w.450H.)
Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyyah, adalah pakar dari kubu
Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan
untuk memelihara urusan dunia dan agama atau urasan spiritual dan temporal (li
hara`sat al-di`n wa al-umur al-dunyawiyyah). Jika kita amati,
persyaratan-persyaratan kepala negara dalam karyanya, maka akan segera nampak
bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan di atas pundak
kepala negara adalah untuk mensejahterakan (al-falah) rakyatnya, baik secara
spiritual (ibadah), ekonomi, politik dan hak-hak individual (privat: hak Adami)
secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik. Tentu saja termasuk di
dalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan kepemilikan atas harta,
perniagaan, poduksi barang dan jasa, distribusi serta konsumsinya yang
kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar