Oleh: Ahmad Surya Kartadinata*
Perkembangan bank syariah bisa
dibilang sedang melaju kencang. Data dari Bank Indonesia total aset bank
syariah sudah mencapai 141 triliun dan pangsa pasar bank syariah sudah mencapai
3,3%. Banyak hal yang membuat bank syariah menjadi diminati masyarakat
Indonesia. Jumlah penduduk yang mayoritas Muslim adalah penyebab utama bank
syariah begitu diminati. Dan juga fatwa dari DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional-Majelis
Ulama Indonesia) yang mampu mendorong perkembangan bank syariah. Dengan
keluarnya fatwa DSN-MUI, bisnis perbankan berbasis syariah mampu berjalan dan
bersaing dengan bisnis perbankan konvensional yang sudah lama ada. Karena dalam
fatwa DSN-MUI mampu menetapkan halalnya suatu produk perbankan syariah.
Motivasi awal munculnya bank syariah
adalah untuk menjalankan prinsip perbankan yang tidak melanggar syariat Islam.
Yang membedakan secara mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional
terletak pada bunga. Bank syariah tidak menggunakan konsep bunga. Melainkan
sistem nisbah atau bisa dibilang profit and loss sharing. Karena dalam
islam sendiri konsep bunga itu termasuk riba dan Islam melarang hal tersebut. Tapi
dalam implementasinya, banyak hal-hal yang keliru yang dipraktikan oleh bank
syariah
Zaim Zaidi pernah menulis dibukunya
yang berjudul “Tidak Syariahnya Bank Syariah”. Dalam bukunya beliau menyatakan
bank syariah yang ada tidak ubahnya dengan bank konvensional yang sudah ada.
Akad (transaksi) yang ada dalam produk bank syariah seolah dipaksakan untuk
mengikuti konvensional. Menurutnya, fungsi bank syariah dan bank konvensional
juga sama, yaitu menghimpun dana lalu menyalurkannya dengan orientasi
keuntungan.
Contoh saja tabungan di bank syariah
yang menggunakan akad wadiah. Pengertian akad wadiah sendiri adalah titipan. Seharusnya
uang yang dititipkan bisa diambil sebagian atau seluruhnya dan tidak terbatas
waktu. Jika nasabah mempunyai tabungan dengan nominal 200 juta dan ingin
mengambil semuanya, maka hal itu seharusnya bisa dilakukan. Namun dalam
prakteknya, nasabah tidak bisa mengambil semua dananya begitu saja pada hari
itu. Gunanya agar bank syariah terhindar dari rush (aksi penarikan
besar-besaran). Dan bisa disimpulkan bank syariah tidak ubahnya seperti bank
konvensional yang sudah ada.
Lalu dari segi inovasi dalam membuat
produk perbankan, bank syariah juga begitu kreatif. Sehingga berhasil
menduplikasi karya bank konvensional dengan membuat kartu kredit syariah. Kartu
kredit yang selalu identik dengan bunga yang berlipat-lipat mampu diduplikasi
dan menjadi produk unggulan salah satu bank syariah di Indonesia. Entah apa
yang memotivasi para penggiat bisnis perbankan syariah sehingga mampu membuat
kartu kredit syariah yang identik dengan gaya hidup boros atau konsumerisme.
Suatu gaya hidup yang dilarang dalam Islam.
Sedangkan dalam hal pembiayaan (bank
syariah tidak menggunakan istilah kredit dalam memberikan pinjaman). Disinilah
yang harusnya bisa menjadi pembeda antara bank syariah dan bank konvensional. Bank
syariah mempunyai akad mudharabah, yaitu akad dimana bank yang mempunyai dana
memberikan pinjaman kepada pihak yang kekurangan dana. Dan proses pengembalian
dananya dengan menganut sistem profit and loss sharing (sistem yang
membagi keuntungan dan juga membagi kerugian). Tapi kenyataannya bank syariah
tidak ada yang mengaplikasikan hal tersebut melainkan melakukan hal yang sama
seperti bank konvensional pada umumnya. Dengan meminta pengembalian pokok
beserta tambahannya. Dan jika waktu pengembaliannya lebih lama, bertambah pula
tambahan yang harus dibebankan oleh peminjam.
Memang tidak bisa dipungkiri perbankan
adalah suatu bisnis yang tentunya selalu berorientasi profit. Bank syariah saat
ini hanya menganut sistem bagi hasil yaitu sistem yang membagikan hasil, tidak
termasuk membagikan rugi. Jadi, jika peminjam mengalami kesulitan dalam
melunasi pinjaman maka bank syariah akan menyita atau melakukan apapun agar
pinjaman beserta tambahannya bisa kembali.
Untuk itu perlu ada pemahaman mendalam
tentang muamalat. Banyak orang beranggapan pengertian muamalat adalah sistem ekonomi
Islam. Ini adalah kekeliruan besar, karena pengertian sebenarnya adalah suatu
hubungan antar manusia dalam urusan harta maupun bukan dalam urusan harta.
Esensi dari hubungan antar manusia adalah hubungan yang baik.
Dalam berhubungan
yang baik dengan sesama manusia tentu perlu rasa adil dan juga maslahat. Lalu
apakah bank syariah mampu merepresentasi rasa adil dan juga maslahat bagi
sesama manusia? Sedangkan dalam aplikasinya bank syariah selalu berupaya
mencari keuntungan yang sebesar besarnya. Jika ada bank syariah yang mampu
mengaplikasikan semua nilai islam dan teori-teori dalam fiqh muamalat. Maka bank
tersebut patut mendapat predikat bank syariah.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
** Tulisan ini pernah di muat dalam TANGSEL POS.
Saya sependapat, menurut saya bank syariah kita hanyalah saudara kembar dari bank konvensional. Hanya namanya saja yg diubah.
BalasHapusSangat disayangkan
Saya sependapat juga. Saya fans berat dr mas Surya ini. Udah ganteng, pinter lagi.
BalasHapus