Kamis, 15 Desember 2011

Mempertanyakan Nilai Syariah Pada Bank Syariah





Oleh: Ahmad Surya Kartadinata*

Perkembangan bank syariah bisa dibilang sedang melaju kencang. Data dari Bank Indonesia total aset bank syariah sudah mencapai 141 triliun dan pangsa pasar bank syariah sudah mencapai 3,3%. Banyak hal yang membuat bank syariah menjadi diminati masyarakat Indonesia. Jumlah penduduk yang mayoritas Muslim adalah penyebab utama bank syariah begitu diminati. Dan juga fatwa dari DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia) yang mampu mendorong perkembangan bank syariah. Dengan keluarnya fatwa DSN-MUI, bisnis perbankan berbasis syariah mampu berjalan dan bersaing dengan bisnis perbankan konvensional yang sudah lama ada. Karena dalam fatwa DSN-MUI mampu menetapkan halalnya suatu produk perbankan syariah.


Motivasi awal munculnya bank syariah adalah untuk menjalankan prinsip perbankan yang tidak melanggar syariat Islam. Yang membedakan secara mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional terletak pada bunga. Bank syariah tidak menggunakan konsep bunga. Melainkan sistem nisbah atau bisa dibilang  profit and loss sharing. Karena dalam islam sendiri konsep bunga itu termasuk riba dan Islam melarang hal tersebut. Tapi dalam implementasinya, banyak hal-hal yang keliru yang dipraktikan oleh bank syariah

Zaim Zaidi pernah menulis dibukunya yang berjudul “Tidak Syariahnya Bank Syariah”. Dalam bukunya beliau menyatakan bank syariah yang ada tidak ubahnya dengan bank konvensional yang sudah ada. Akad (transaksi) yang ada dalam produk bank syariah seolah dipaksakan untuk mengikuti konvensional. Menurutnya, fungsi bank syariah dan bank konvensional juga sama, yaitu menghimpun dana lalu menyalurkannya dengan orientasi keuntungan.             

Contoh saja tabungan di bank syariah yang menggunakan akad wadiah. Pengertian akad wadiah sendiri adalah titipan. Seharusnya uang yang dititipkan bisa diambil sebagian atau seluruhnya dan tidak terbatas waktu. Jika nasabah mempunyai tabungan dengan nominal 200 juta dan ingin mengambil semuanya, maka hal itu seharusnya bisa dilakukan. Namun dalam prakteknya, nasabah tidak bisa mengambil semua dananya begitu saja pada hari itu. Gunanya agar bank syariah terhindar dari rush (aksi penarikan besar-besaran). Dan bisa disimpulkan bank syariah tidak ubahnya seperti bank konvensional yang sudah ada.

Lalu dari segi inovasi dalam membuat produk perbankan, bank syariah juga begitu kreatif. Sehingga berhasil menduplikasi karya bank konvensional dengan membuat kartu kredit syariah. Kartu kredit yang selalu identik dengan bunga yang berlipat-lipat mampu diduplikasi dan menjadi produk unggulan salah satu bank syariah di Indonesia. Entah apa yang memotivasi para penggiat bisnis perbankan syariah sehingga mampu membuat kartu kredit syariah yang identik dengan gaya hidup boros atau konsumerisme. Suatu gaya hidup yang dilarang dalam Islam.

Sedangkan dalam hal pembiayaan (bank syariah tidak menggunakan istilah kredit dalam memberikan pinjaman). Disinilah yang harusnya bisa menjadi pembeda antara bank syariah dan bank konvensional. Bank syariah mempunyai akad mudharabah, yaitu akad dimana bank yang mempunyai dana memberikan pinjaman kepada pihak yang kekurangan dana. Dan proses pengembalian dananya dengan menganut sistem profit and loss sharing (sistem yang membagi keuntungan dan juga membagi kerugian). Tapi kenyataannya bank syariah tidak ada yang mengaplikasikan hal tersebut melainkan melakukan hal yang sama seperti bank konvensional pada umumnya. Dengan meminta pengembalian pokok beserta tambahannya. Dan jika waktu pengembaliannya lebih lama, bertambah pula tambahan yang harus dibebankan oleh peminjam.

Memang tidak bisa dipungkiri perbankan adalah suatu bisnis yang tentunya selalu berorientasi profit. Bank syariah saat ini hanya menganut sistem bagi hasil yaitu sistem yang membagikan hasil, tidak termasuk membagikan rugi. Jadi, jika peminjam mengalami kesulitan dalam melunasi pinjaman maka bank syariah akan menyita atau melakukan apapun agar pinjaman beserta tambahannya bisa kembali.

Untuk itu perlu ada pemahaman mendalam tentang muamalat. Banyak orang beranggapan pengertian muamalat adalah sistem ekonomi Islam. Ini adalah kekeliruan besar, karena pengertian sebenarnya adalah suatu hubungan antar manusia dalam urusan harta maupun bukan dalam urusan harta. Esensi dari hubungan antar manusia adalah hubungan yang baik. 

             Dalam berhubungan yang baik dengan sesama manusia tentu perlu rasa adil dan juga maslahat. Lalu apakah bank syariah mampu merepresentasi rasa adil dan juga maslahat bagi sesama manusia? Sedangkan dalam aplikasinya bank syariah selalu berupaya mencari keuntungan yang sebesar besarnya. Jika ada bank syariah yang mampu mengaplikasikan semua nilai islam dan teori-teori dalam fiqh muamalat. Maka bank tersebut patut mendapat predikat bank syariah.

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
** Tulisan ini pernah di muat dalam TANGSEL POS.

2 komentar:

  1. Saya sependapat, menurut saya bank syariah kita hanyalah saudara kembar dari bank konvensional. Hanya namanya saja yg diubah.
    Sangat disayangkan

    BalasHapus
  2. Saya sependapat juga. Saya fans berat dr mas Surya ini. Udah ganteng, pinter lagi.

    BalasHapus